facebook google twitter tumblr instagram linkedin
  • Home
  • Stories
  • Recipes
  • About Us
  • Contact

Sambal Nusantara

sambal nusantara
Sambal, pelengkap wajib masakan Indonesia.
Jika kita buka lembar demi lembar sejarah peradaban Nusantara, terkuak bahwa sambal atau sambel merupakan tradisi kuliner yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam teks Prasasti Rukam yang ditulis pada awal abad ke-9, terdapat kata “sambel” yang merupakan salah satu hidangan yang dikonsumsi oleh masyarakat pada masa itu. Sementara dalam Prasasti Pangumulan yang ditulis di abad yang sama, menjelaskan bahwa sambel petis (tetis) adalah salah satu hidangan yang digunakan untuk sesajen dalam upacara adat. Kedua prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Teks tersebut menguatkan terminologi sambal yang bermula dari Jawa. 

Asal-usul Sambal dan Cabai
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sambal diartikan sebagai makanan penyedap yang dibuat dari cabai, garam, dan sebagainya yang ditumbuk, dihaluskan, dan sebagainya, biasanya dimakan bersama nasi. Definisi tersebut adalah realitas sekarang bahwa sambal tidak bisa lepas dari cabai. Namun, tahukah kalian kalau sebenarnya cabai ini bukanlah tanaman asli Indonesia? Cabai diprediksi masuk dan menyebar ke Indonesia pada awal abad ke-16. Dalam buku Tropical Herbs and Spices of Indonesia yang ditulis oleh Wendy Hutton, diungkapkan bahwa cabai dibawa oleh orang-orang Portugis dari benua Amerika dalam penjelajahan mereka untuk mencari rempah-rempah. Di Amerika Selatan dan Tengah, cabai dibudidayakan oleh suku Maya, Inca, dan Aztec sebagai bumbu masakan dan obat sejak 5.000 SM. 

Walaupun tidak ada bukti sejarah yang jelas, tetapi cabai diperkirakan masuk pertama kali ke Nusantara melalui Maluku. Tanaman ini  dibawa oleh pelaut Portugis, Ferdinand Magellan, yang melakukan pelayaran atas prakarsa Raja Charles I dari Spanyol. Pada tahun 1519, Magellan berlabuh di Maluku dari arah barat membawa lima kapal yang melintasi Samudera Atlantik menuju Lautan Teduh (Samudera Pasifik) dengan melewati sebuah selat di Chili yang sekarang diberi nama Selat Magellan. Pedagang dari India juga turut berperan dalam penyebaran tanaman cabai ke Indonesia. Mereka membawa cabai melalui Pulau Sumatera.
cabe jamu
Cabya, cabe kuno asli Indonesia.
Seorang arkeolog Indonesia, Titi Surti Nastiti, mengungkapkan bahwa sebenarnya cabai sudah dikenal masyarakat Mataram Kuno di abad ke-10. Dalam teks Kakawin Ramayana, cabai disebut sebagai salah satu komoditi perdagangan dan contoh jenis makanan pangan. Tapi, ternyata cabai yang tertulis dalam teks Ramayana itu, adalah cabya. Riset arkeologis yang dilakukan oleh Timbul Haryono dalam Inventarisasi Makanan dan Minuman dalam Sumber-Sumber Arkeologi Tertulis (1997), menjelaskan bahwa kata ”cabya” dalam teks Ramayana, merujuk kepada Piper retrofractum vahl, jenis tanaman dari genus lada dan sirih-sirihan yang juga mempunyai rasa pedas. Tanaman itu banyak tumbuh liar di hutan-hutan Pulau Jawa. Cabya telah digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai bahan pemedas dalam sambal sebelum kedatangan cabai. Nama “cabai” diduga berasal dari kata cabya karena pelafalan yang hampir sama. Masyarakat Nusantara sepertinya masih berusaha menjaga jejak masa lalunya dengan menyebut pemedas baru dari negeri seberang itu sebagai cabai. Dalam bahasa Jawa, daun cabai disebut sebagai daun sabrang yang artinya daun dari negeri seberang. Setelah kehadiran cabai, pamor cabya perlahan meredup. Sekarang namanya dikenal sebagai cabai jawa atau cabai puyang yang digunakan sebagai ramuan herbal atau jamu. Rasa pedas pada minuman beras kencur, berasal dari cabya.

Baca Juga: Cabe Jamu, Sang Legenda Cabai

Cabai yang dibawa oleh orang Portugis dan India mempunyai rasa yang lebih pedas, lebih segar, harganya tidak mahal, dan dapat tumbuh subur dengan mudah. Sehingga, tidak lama setelah dikenalkan, cabai langsung menjadi viral dan banyak disukai oleh masyarakat Nusantara. Akhirnya, kehadiran cabai menggantikan rasa pedas dalam sambal dari beberapa bahan lokal yang sebelumnya telah ada, yaitu cabya untuk kawasan Jawa serta merica, jahe, dan kapulaga di kawasan lainnya. Rempah-rempah itu telah tumbuh dan digunakan ratusan tahun sebelumnya bersamaaan dengan pengaruh dari kedatangan pedagang-pedagang India dan Tiongkok.

Prasasti dan naskah kuno mengungkapkan bahwa tradisi sambal telah ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan cabai. Para ahli kuliner menjelaskan memang kebanyakan hidangan Nusantara bersifat dingin, sehingga memerlukan pelengkap yang menghangatkan. Dan itu bisa didapat dari rasa pedas pada sambal. Iklim tropis telah membentuk kebiasaan masyarakat Indonesia untuk membiarkan hidangan sampai dingin, kemudian menyantapnya dengan sambal dan nasi hangat. Coba perhatikan warung tegal (warteg) atau warung padang, lauk yang mereka sajikan kebanyakan dalam keadaan dingin. Kuliner seperti nasi liwet, nasi gudeg, sayur lodeh, sayur meniran, nasi rames, sayur bobor, nasi pecel, nasi kebuli, opor ayam, rendang, itiak lado mudo, gulai tambusu, lawar, gangan, asam padeh, woku balanga, atau pallumara, lebih nikmat disantap saat dingin. Kemudian sambal ditambahkan untuk menciptakan kembali sensasi rasa panas. Bahkan, untuk hidangan yang bersifat panas pun, seperti soto, kalau tanpa sambal rasanya juga kurang nendang.

Sambal Masa Kolonialisme
Pada era penjajah kolonial Belanda, sambal pernah berjaya di lidah orang-orang Belanda. Baboe atau sebutan untuk pekerja domestik atau pekerja rumah tangga (PRT) yang pandai membuat sambal, kala itu mempunyai bayaran yang paling mahal. Salah satu ahli kuliner paling berpengaruh pada masa itu, Catenius Van der Meijden, seorang nyonya meneer Belanda yang tinggal di Jawa, sangat ahli dalam memasak sambal. Berbagai macam teknik membuat sambal dikuasai dengan baik termasuk sambal yang dibuat dengan cobek dan ulekan. Perempuan ini juga yang pertama kali menerbitkan resep-resep kuliner Nusantara dalam sebuah buku berjudul Groot nieuw volledig Oost-Indisch Kookboek di Bandung, Semarang, dan Surabaya tahun 1942. Resep-resep dalam buku tersebut merupakan hasil wawancara dengan para pekerja domestiknya. Melalui resep-resep sambal dalam buku tersebut, dia berhasil membuat sambal menjadi semakin popular di Indonesia sampai ke Belanda. Sambal juga selalu hadir dalam piring-piring kecil pada jamuan makan istimewa, yaitu rijstaffel. Rijstaffel adalah gaya makan raja-raja zaman dulu yang menghidangkan ragam kuliner Nusantara dalam satu meja. Jamuan itu sengaja diciptakan oleh orang-orang Belanda untuk menjamu tamu-tamu sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya dan kuliner dari negeri jajahan mereka.

Banyak orang Belanda penasaran dengan menu sambal. Mereka menganggap sambal adalah makanan yang “eksotis.”

“Rasa pedasnya bisa membuat perut berputar (mulas),” begitu kata Van Overbeke dalam salah satu syairnya.

Walaupun ada banyak peringatan tentang bahaya makan sambal bagi perut, namun banyak wisatawan Belanda pada masa kolonial yang berkunjung ke Indonesia, tetap penasaran dan berhasrat mencobanya. Dan hasilnya, banyak dari mereka yang mengeluhkan berbagai efek: sakit perut, bibir gemetar, atau bahkan leher terasa tercekik karena kepanasan rasa pedasnya sambal. Koresponden Haagse Post, Louis Couperus, mengingatkan ganasnya sambal dalam hidangan rijsttafel. “Bermacam-macam, seringkali dengan bumbu sambal yang banyak kita ambil sedikit saja, awas dengan sambal ulek yang terbuat hanya dari lada Spanyol,” tulisnya dalam buku kumpulan tulisannya berjudul Oostwaarts (1992).

Variasi Sambal dan Tradisi Sambal
Sambal memulai masa kebangkitannya pada tahun 1920-an di mana banyak kreasi sambal baru semakin bermunculan dengan nama-nama unik, seperti sambal brandal, sambal serdadu, sambal bajak, dan sambal ulek. Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran cabai telah mendorong kreativitas terhadap eksistensi sambal di Indonesia. Saat ini hampir tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak mengenal sambal. Entah sebutan apa yang cocok kalau melihat perannya yang begitu dominan dalam kuliner Indonesia. Kondimen, pelengkap, side dish, penyedap, bahkan lauk, semua bisa dilakukan dengan sambal. Mungkin satu hal yang tidak bisa dilakukan, yakni menjadikan sambal sebagai hidangan utama.
sambal bajak
Sambal Bajak, kreasi seorang Nyonya Meneer Belanda.
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dengan budaya yang bermacam ragam, membuat negeri ini memiliki kekayaan kuliner yang berlimpah. Uniknya lagi, hampir semua kuliner Indonesia selalu mempunyai sambal sebagai pelengkapnya.

Baca Juga: Sambal Kriuk, Variasi Sambal Milenial

“Sambel adalah kultur Indonesia. Di bagian mana di kepulauan kita ini yang tidak kenal sambel? Semuanya kenal. Sambel terasi, sambel goreng, sambel jelantah, sambel penjit alias sambel mangga muda, sambel tomat, dan entah sambel apa lagi. Bila belum ada sambel di antara hidangan di atas meja makan, maka sajian itu dinyatakan belumlah komplit,” celoteh budayawan Umar Khayam dalam kolomnya Kapok Lombok yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 10 Oktober 1996.

Tim ahli kuliner dari Universitas Gajah Mada yang dimotori oleh Ibu Murdijati Gardjito, pernah melakukan riset terhadap sambal di Indonesia dan berhasil mengidentifikasi terhadap temuan sebanyak 322 macam sambal. Kemudian Bandung Fe Institute dan Research Center for Complexity dari Surya University pada tahun 2016 juga mencatat ada sekitar 100 versi sambal di Indonesia. Lalu tahun 2011, penulis dan pakar kuliner Suryatini N. Ganie meluncurkan buku 100 Resep Variasi Sambal. Apa yang mereka lakukan adalah cara terbaik menjaga kelestarian sambal untuk generasi mendatang. Jika tidak didokumentasikan dalam bentuk buku baik fisik maupun digital, resep-resep sambal kuno yang sudah jarang diceritakan dan dibuat nantinya akan tinggal nama. 

Melihat sejarah peradabannya yang panjang, tak heran jika kebanyakan orang Indonesia menganggap sambal sebagai pelengkap wajib untuk makanan yang nikmat dan nendang. Tanpa sambal, aktivitas makan terasa hambar. Coba saja rasakan makan soto madura tanpa sambal, rawon tanpa sambal, coto makassar tanpa sambal, gudeg tanpa sambal, ayam goreng taliwang tanpa sambal, bakso tanpa sambal! Terasa ada yang kurang bukan?! 

Sambal seolah-olah sudah menjadi kebutuhan pokok seperti halnya beras bagi rakyat Indonesia. Di rumah, warung, atau restoran, sambal dibuat setiap hari. Cabai menjadi bumbu yang harus selalu ada di dapur. Saat harga cabai naik, masyarakat menjadi gelisah dan langsung berpengaruh pada inflasi. Cabai menjadi salah satu komoditas penggerak ekonomi nasional di sektor pertanian. Naik turunnya harga cabai fluktuatif dengan selisih harga yang tinggi. Bisa saja hari ini cabai berharga Rp 5.000, lalu minggu depan sudah menjadi Rp 100.000. Dulu pernah ada gerakan untuk tidak makan sambal saat harga cabai naik. Tapi, gerakan itu tidak popular dan menghilang dengan sendirinya. Sepertinya masyarakat Indonesia belum bisa move on dari sambal!
sambal terasi
Sambal terasi yang menggoda
Tanpa kita sadari pula, sebenarnya cabai dan sambal telah menjadi benang merah pemersatu kuliner Nusantara. Saat ini hampir tidak ada kuliner Indonesia yang tidak menggunakan sambal sebagai pelengkapnya, kecuali mungkin untuk sejumlah wilayah di pedalaman Kalimantan, NTT, dan Papua yang awalnya memang tidak mengenal tradisi sambal. Masing-masing sambal hadir dengan tambahan bahan lokal, namun namanya tetap sambal dan rasanya tetap pedas, khas sambal Nusantara! Ya, bisa dibilang kalau bicara tentang kuliner Indonesia, maka tidak akan pernah bisa lepas dari sambal. Lebih ekstrim lagi kalau bicara sambal, ya harus bicara tentang Indonesia. Sambal adalah Indonesia. Salam sambal Nusantara!
Maret 17, 2019 No komentar
Cabe Jamu
Cabe Jamu saat masih muda
Ada rasa pedas yang tersembunyi saat kita menenggak segelas minuman beras kencur. Sensasi pedasnya berbeda dengan cabai. Sedikit lembut dan membuat perut terasa hangat. Itulah rasa pedas dari Piper Retrofractum Vahl, rempah asli Indonesia yang masih satu kerabat dengan merica, kemukus, dan sirih. Selain pedas rempah ini juga berbau aromatik yang khas. Di Jawa disebut dengan cabe Jawa atau cabe puyang, di Madura dikenal sebagai cabai solak, di Sulawesi disebut dengan cabia, sementara di Bali di beri nama tabia bun atau cabai rambat. Dalam buku Direktori Rempah Indonesia yang diterbitkan oleh tim Dewan Rempah Indonesia ditulis sebagai cabe jamu. Tanaman ini adalah pemedas kuno yang dulu dikonsumsi oleh masyarakat Nusantara. Dalam teks-teks kuno dari abad ke-10, cabe jamu banyak dijual di pasar-pasar tradisional dengan nama cabya.

Sejak kedatangan cabai dari genus capsicum yang dibawa oleh pelaut-pelaut Portugis pada abad ke-16, pamor cabya mulai meredup. Ternyata masyarakat Indonesia lebih suka pedasnya cabai daripada cabya. Rasa pedasnya lebih kuat dan segar. Selain itu cabai juga mudah ditanam dan harganya lebih murah. Apalagi waktu itu cabai dibudidayakan secara massif oleh Belanda. Cabai pun segera viral dan disukai oleh banyak orang. Kini cabya hanya digunakan sebagai bahan jamu atau herbal. Di beberapa tempat seperti Bali dan Jawa masih digunakan sebagai bumbu masakan.

Baca Juga: Sejarah Sambal di Indonesia yang Tidak Anda Ketahui

Namun coba perhatikan, kenapa nama kedua pemedas tersebut terlihat mirip? Bahkan ada yang menyebutnya sama. Cabya dan cabai, cabe dan cabai, atau cabe dan cabe. Beberapa ahli sejarah sepakat bahwa pemberian nama cabai pada pemedas capsicum oleh masyarakat Nusantara pada waktu itu karena terinspirasi oleh cabya. Sepertinya mereka masih ingin mengenang nama cabya pada capsicum yang datang dari negeri seberang. Mereka menduga bahwa cabya akan segera punah digantikan oleh pemedas baru. Agar namanya tidak ikut punah akhirnya pelafalan cabya diberikan kepada capsicum menjadi cabai.
Cabe Jamu
Cabai Jamu saat sudah kering
Mungkin ada yang penasaran seperti apa resep dan rasa sambal saat pemedasnya menggunakan cabya? Menelusuri lembar demi lembar serat centhini dan googling naskah-naskah kuno yang bertebaran di internet, tak satu pun menemukan resep sambal kuno yang menggunakan cabya. Kalau saja ada resepnya yang tersisa, ingin sekali membuat sambal dari cabya. Adakah yang berminat?

Sebagai herbal, cabya mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan. Racikan kuno jamu cabe puyang telah terbukti memberikan manfaat untuk meringankan pegal-pegal di badan atau pegal linu, menurunkan demam, menambah sel darah merah bagi penderita anemia, dan meghilangkan kesemutan. Bahan utama dari jamu ini adalah cabya dan lempuyang. Jauh sebelum obat-obatan modern ditemukan, racikan jamu cabe puyang ini telah digunakan oleh masyarakat Nusantara.

Maret 17, 2019 No komentar
Ini dia Sambal Kriuk!
Saat masih kuliah dan tinggal di kos, yang jauh dari orang tua dan keluarga, urusan makan menjadi sangat merepotkan. Kalau di rumah, semua sudah tersedia di meja makan, dan masakan emak selalu terasa nikmat walaupun sederhana. Itu karena emak selalu memasak dengan cinta. Rempah-rempah yang diraciknya berkolaborasi membentuk rasa yang unik dan berbeda. Energi positif melalui cinta mengalir ke dalam bumbu dan membuat rasanya lebih mengesankan. Beberapa chef setuju bahwa mood saat memasak akan mempengaruhi rasa yang dihasilkan. Chef Eddrian Tjhia mengungkapkan bahwa rahasia kelezatan masakannya adalah karena cinta dan musik. Meskipun emak tak pernah memasak sambil mendengarkan musik, tapi saya percaya emak memasak dengan cinta. Ah jadi kangen masakan emak!

Ketika memutuskan kuliah di luar kota, hal pertama yang mengganggu adalah tidak bisa lagi menikmati masakan emak setiap hari. Membayangkan akan makan di warung atau masak sendiri mie instant. Tapi dengan tenang emak menguatkan, “Jangan khawatir, setiap kamu pulang nanti emak akan buatkan kamu sambal goreng yang tahan lama, bisa kamu jadikan lauk setiap hari.” Wah sambal goreng kesukaanku! Sambal goreng racikan emak adalah menu favorit semua anggota keluarga. Racikannya sangat sederhana, terdiri atas cabe, bawang putih, bawang merah, tomat, gula jawa, dan campuran ikan asin yang kemudian ditumbuk kasar dan digoreng sampai kering. Tampilan akhirnya ‘nyemek-nyemek’ (kering sedikit basah) dan berminyak. Minyak adalah pengawet alami, sambal goreng ini bisa bertahan beberapa minggu. Sebenarnya sambal goreng adalah sambal yang dicampur dengan lauk ikan asin, ayam, atau tempe. Di Malang, sambal rumahan ini adalah ‘common food’. Dan asyiknya lagi, cukup dimakan dengan nasi putih hangat saja sudah sangat nikmat dan memuaskan!

Baca Juga: Resep Sambal Goreng Ikan Peda Maknyuus!

Bertahun-tahun sejak kepergian emak, sambal goreng seakan lenyap dari menu harian. Sampai pada suatu hari, saya makan di rumah kakak perempuan saya yang pertama. Dan saya kaget, di mejanya tersedia sambal goreng yang tampilannya mengingatkan saya pada emak. Seketika saya comot, dan rasanya….hmmm…wow mirip banget dengan racikan emak! Saya langsung mengintrogasi kakak saya dan meminta resepnya. Walaupun resep sambal goreng banyak bertebaran di internet namun di lidah saya belum bisa menemukan racikan seperti emak. Dan ternyata kakak saya bisa. Ini pasti memasaknya pas lagi tidak berantem dengan suaminya, pas lagi full of love!

Inilah sedikit penggalan cerita yang membuat saya tergerak untuk memasak kembali sambal goreng racikan emak yang melegenda dalam lidah saya. Resep dari kakak saya, yang ternyata diajarkan oleh emak, tidak serta merta membuat sambal goreng yang saya buat sama rasanya dengan racikan emak. Butuh trial and error puluhan kali sampai benar-benar bisa dikatakan mirip. Cuma mirip ya, tidak sama persis. Karena saya percaya bahwa setiap tangan yang meracik suatu hidangan akan menghasilkan rasa yang berbeda walaupun bumbu dan tekniknya sama. Ketika saya sudah berhasil membuatnya pada tingkatan mirip, saya mulai ‘percaya diri’ untuk berbagi rasa dengan teman-teman. Memasak apapun, saya memang sering berbagi rasa dengan teman. Motivasinya cuma satu, apakah mereka juga merasakan sensasi yang sama dengan saya. Kalaupun teman-teman tidak suka, saya pun harus siap menerima karena rasa itu sifatnya relatif. Menurut saya enak belum tentu orang lain juga merasakan demikian.
sambal kriuk dengan soto
Soto dan Sambal Kriuk, paduan yang paripurna.
Tiba saatnya untuk mendengar masukan, kritikan, atau hanya sekedar komentar dari teman tentang rasa sambal gorengnya. Muncul respons bermacam-macam, ada yang bilang enak tapi dengan wajah datar-datar saja, seperti mau bilang tidak enak tapi tidak tega, ada yang bilang biasa saja kayak sambal pada umumnya, dan ada juga yang bilang “Wow, ini enak pakai banget sambalnya, minta lagi dong!” dengan raut muka kaget dan berseri. Ada lagi yang langsung ngomong, “Eh aku bikinin dong beberapa botol, aku beli deh!” Saya cukup senang karena yang bilang ‘suka banget’ jumlahnya lebih banyak. Ada satu komentar yang membuat saya justru berpikir lebih kreatif, “Sambalnya bisa tahan lebih dari satu bulan gak? Mau tak bawa jalan-jalan jauh nih.”
sambal kriuk dan nasi putih hnagat
Menu klasik, nasi putih hangat dan Sambal Kriuk
Berawal dari ‘permasalahan’ yang disampaikan oleh teman, saya jadi berpikir untuk menemukan solusinya. Sambal goreng yang bisa tahan lebih dari satu bulan? Tentu saja yang tanpa pengawet. Yaa, ini adalah bagian dari kreativitas yang sangat sederhana, yang mungkin saja sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kreativitas itu harus bebas. Saya harus lepas dari belenggu bahwa sambal goreng itu harus ‘nyemek-nyemek’. Akhirnya munculah gagasan untuk membuat sambal goreng yang benar-benar kering agar lebih awet. Bahan-bahannya seperti sambal goreng pada umumnya namun digoreng sampai kering. Dan dari teknik ini, tekstur sambalnya berubah menjadi kriuk-kriuk tanpa meninggalkan rasa orisinal dari sambal goreng. Itulah Sambal Kriuk! Rasanya lebih unik dan banyak digemari milenial untuk dijadikan lauk pendamping nasi putih, taburan pada soto, mie goreng, bakso, dan kuliner lainnya. Selamat datang Sambal Kriuk sebagai bagian dari Sambal Nusantara!
Maret 17, 2019 No komentar
Older Posts

Blog Stats

Popular Post

  • Gastronomi, Nation Branding, dan Sambal
    Soto Nusantara Food is culture (makanan adalah budaya). U ngkapan tersebut menegaskan bahwa makanan adalah suatu hasil karya, cipta, ...
  • Ke Malang, Jangan Lupa Cicipin Nasi Empok!
    Nasi Empok Khas Malang Bicara nasi empok tidak bisa lepas dari nasi jagung. Keduanya terbuat dari jagung namun ada sedikit perbedaan...
  • Sambal Adalah Indonesia
    Sambal, pelengkap wajib masakan Indonesia. Jika kita buka lembar demi lembar sejarah peradaban Nusantara, terkuak bahwa sambal atau s...
  • Sang Legenda Cabe
    Cabe Jamu saat masih muda Ada rasa pedas yang tersembunyi saat kita menenggak segelas minuman beras kencur. Sensasi pedasnya berbeda d...
  • Sambal Kriuk Sambal Milenial
    Ini dia Sambal Kriuk! Saat masih kuliah dan tinggal di kos, yang jauh dari orang tua dan keluarga, urusan makan menjadi sangat merepo...
  • Sambal Goreng Ikan Peda Mantul
    Ini adalah sambal klasik dari Malang yang banyak disukai orang. Bahannya tidak dihaluskan namun cukup diiris tipis-tipis, kemudian di...

Recent Post


Lain Lain

  • Contact Us
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Term of Service
  • Sitemap

Created with by ThemeXpose