Sambal Adalah Indonesia
Sambal, pelengkap wajib masakan Indonesia. |
Asal-usul Sambal dan Cabai
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sambal diartikan sebagai makanan penyedap
yang dibuat dari cabai, garam, dan sebagainya yang ditumbuk,
dihaluskan, dan sebagainya, biasanya dimakan bersama nasi. Definisi
tersebut adalah realitas sekarang bahwa sambal tidak bisa lepas dari
cabai. Namun, tahukah kalian kalau sebenarnya cabai ini bukanlah tanaman
asli Indonesia? Cabai diprediksi masuk dan menyebar ke Indonesia pada
awal abad ke-16. Dalam buku Tropical Herbs and Spices of Indonesia yang
ditulis oleh Wendy Hutton, diungkapkan bahwa cabai dibawa oleh
orang-orang Portugis dari benua Amerika dalam penjelajahan mereka untuk
mencari rempah-rempah. Di Amerika Selatan dan Tengah, cabai
dibudidayakan oleh suku Maya, Inca, dan Aztec sebagai bumbu masakan dan
obat sejak 5.000 SM.
Walaupun
tidak ada bukti sejarah yang jelas, tetapi cabai diperkirakan masuk
pertama kali ke Nusantara melalui Maluku. Tanaman ini dibawa oleh
pelaut Portugis, Ferdinand Magellan, yang melakukan pelayaran atas
prakarsa Raja Charles I dari Spanyol. Pada tahun 1519, Magellan berlabuh
di Maluku dari arah barat membawa lima kapal yang melintasi Samudera
Atlantik menuju Lautan Teduh (Samudera Pasifik) dengan melewati sebuah
selat di Chili yang sekarang diberi nama Selat Magellan. Pedagang dari
India juga turut berperan dalam penyebaran tanaman cabai ke Indonesia.
Mereka membawa cabai melalui Pulau Sumatera.
Seorang
arkeolog Indonesia, Titi Surti Nastiti, mengungkapkan bahwa sebenarnya
cabai sudah dikenal masyarakat Mataram Kuno di abad ke-10. Dalam teks
Kakawin Ramayana, cabai disebut sebagai salah satu komoditi perdagangan
dan contoh jenis makanan pangan. Tapi, ternyata cabai yang tertulis
dalam teks Ramayana itu, adalah cabya. Riset arkeologis yang dilakukan
oleh Timbul Haryono dalam Inventarisasi Makanan dan Minuman dalam
Sumber-Sumber Arkeologi Tertulis (1997), menjelaskan bahwa kata ”cabya”
dalam teks Ramayana, merujuk kepada Piper retrofractum vahl, jenis
tanaman dari genus lada dan sirih-sirihan yang juga mempunyai rasa
pedas. Tanaman itu banyak tumbuh liar di hutan-hutan Pulau Jawa. Cabya
telah digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai bahan pemedas dalam sambal
sebelum kedatangan cabai. Nama “cabai” diduga berasal dari kata cabya
karena pelafalan yang hampir sama. Masyarakat Nusantara sepertinya masih
berusaha menjaga jejak masa lalunya dengan menyebut pemedas baru dari
negeri seberang itu sebagai cabai. Dalam bahasa Jawa, daun cabai disebut
sebagai daun sabrang yang artinya daun dari negeri seberang. Setelah
kehadiran cabai, pamor cabya perlahan meredup. Sekarang namanya dikenal
sebagai cabai jawa atau cabai puyang yang digunakan sebagai ramuan
herbal atau jamu. Rasa pedas pada minuman beras kencur, berasal dari
cabya.
Baca Juga: Cabe Jamu, Sang Legenda Cabai
Cabya, cabe kuno asli Indonesia. |
Baca Juga: Cabe Jamu, Sang Legenda Cabai
Cabai
yang dibawa oleh orang Portugis dan India mempunyai rasa yang lebih
pedas, lebih segar, harganya tidak mahal, dan dapat tumbuh subur dengan
mudah. Sehingga, tidak lama setelah dikenalkan, cabai langsung menjadi
viral dan banyak disukai oleh masyarakat Nusantara. Akhirnya, kehadiran
cabai menggantikan rasa pedas dalam sambal dari beberapa bahan lokal
yang sebelumnya telah ada, yaitu cabya untuk kawasan Jawa serta merica,
jahe, dan kapulaga di kawasan lainnya. Rempah-rempah itu telah tumbuh
dan digunakan ratusan tahun sebelumnya bersamaaan dengan pengaruh dari
kedatangan pedagang-pedagang India dan Tiongkok.
Prasasti
dan naskah kuno mengungkapkan bahwa tradisi sambal telah ada di
Indonesia jauh sebelum kedatangan cabai. Para ahli kuliner menjelaskan
memang kebanyakan hidangan Nusantara bersifat dingin, sehingga
memerlukan pelengkap yang menghangatkan. Dan itu bisa didapat dari rasa
pedas pada sambal. Iklim tropis telah membentuk kebiasaan masyarakat
Indonesia untuk membiarkan hidangan sampai dingin, kemudian menyantapnya
dengan sambal dan nasi hangat. Coba perhatikan warung tegal (warteg)
atau warung padang, lauk yang mereka sajikan kebanyakan dalam keadaan
dingin. Kuliner seperti nasi liwet, nasi gudeg, sayur lodeh, sayur
meniran, nasi rames, sayur bobor, nasi pecel, nasi kebuli, opor ayam,
rendang, itiak lado mudo, gulai tambusu, lawar, gangan, asam padeh, woku
balanga, atau pallumara, lebih nikmat disantap saat dingin. Kemudian
sambal ditambahkan untuk menciptakan kembali sensasi rasa panas. Bahkan,
untuk hidangan yang bersifat panas pun, seperti soto, kalau tanpa
sambal rasanya juga kurang nendang.
Sambal Masa Kolonialisme
Pada
era penjajah kolonial Belanda, sambal pernah berjaya di lidah
orang-orang Belanda. Baboe atau sebutan untuk pekerja domestik atau
pekerja rumah tangga (PRT) yang pandai membuat sambal, kala itu
mempunyai bayaran yang paling mahal. Salah satu ahli kuliner paling
berpengaruh pada masa itu, Catenius Van der Meijden, seorang nyonya
meneer Belanda yang tinggal di Jawa, sangat ahli dalam memasak sambal.
Berbagai macam teknik membuat sambal dikuasai dengan baik termasuk
sambal yang dibuat dengan cobek dan ulekan. Perempuan ini juga yang
pertama kali menerbitkan resep-resep kuliner Nusantara dalam sebuah buku
berjudul Groot nieuw volledig Oost-Indisch Kookboek di Bandung,
Semarang, dan Surabaya tahun 1942. Resep-resep dalam buku tersebut
merupakan hasil wawancara dengan para pekerja domestiknya. Melalui
resep-resep sambal dalam buku tersebut, dia berhasil membuat sambal
menjadi semakin popular di Indonesia sampai ke Belanda. Sambal juga
selalu hadir dalam piring-piring kecil pada jamuan makan istimewa, yaitu
rijstaffel. Rijstaffel adalah gaya makan raja-raja zaman dulu yang
menghidangkan ragam kuliner Nusantara dalam satu meja. Jamuan itu
sengaja diciptakan oleh orang-orang Belanda untuk menjamu tamu-tamu
sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya dan kuliner dari negeri jajahan
mereka.
Banyak orang Belanda penasaran dengan menu sambal. Mereka menganggap sambal adalah makanan yang “eksotis.”
“Rasa pedasnya bisa membuat perut berputar (mulas),” begitu kata Van Overbeke dalam salah satu syairnya.
Walaupun
ada banyak peringatan tentang bahaya makan sambal bagi perut, namun
banyak wisatawan Belanda pada masa kolonial yang berkunjung ke
Indonesia, tetap penasaran dan berhasrat mencobanya. Dan hasilnya,
banyak dari mereka yang mengeluhkan berbagai efek: sakit perut, bibir
gemetar, atau bahkan leher terasa tercekik karena kepanasan rasa
pedasnya sambal. Koresponden Haagse Post, Louis Couperus, mengingatkan
ganasnya sambal dalam hidangan rijsttafel. “Bermacam-macam, seringkali
dengan bumbu sambal yang banyak kita ambil sedikit saja, awas dengan
sambal ulek yang terbuat hanya dari lada Spanyol,” tulisnya dalam buku
kumpulan tulisannya berjudul Oostwaarts (1992).
Variasi Sambal dan Tradisi Sambal
Sambal
memulai masa kebangkitannya pada tahun 1920-an di mana banyak kreasi
sambal baru semakin bermunculan dengan nama-nama unik, seperti sambal
brandal, sambal serdadu, sambal bajak, dan sambal ulek. Tak bisa
dipungkiri bahwa kehadiran cabai telah mendorong kreativitas terhadap
eksistensi sambal di Indonesia. Saat ini hampir tidak ada masyarakat
Indonesia yang tidak mengenal sambal. Entah sebutan apa yang cocok kalau
melihat perannya yang begitu dominan dalam kuliner Indonesia. Kondimen,
pelengkap, side dish, penyedap, bahkan lauk, semua bisa dilakukan
dengan sambal. Mungkin satu hal yang tidak bisa dilakukan, yakni
menjadikan sambal sebagai hidangan utama.
Kondisi
geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dengan budaya yang
bermacam ragam, membuat negeri ini memiliki kekayaan kuliner yang
berlimpah. Uniknya lagi, hampir semua kuliner Indonesia selalu mempunyai
sambal sebagai pelengkapnya.
Baca Juga: Sambal Kriuk, Variasi Sambal Milenial
Sambal Bajak, kreasi seorang Nyonya Meneer Belanda. |
Baca Juga: Sambal Kriuk, Variasi Sambal Milenial
“Sambel
adalah kultur Indonesia. Di bagian mana di kepulauan kita ini yang
tidak kenal sambel? Semuanya kenal. Sambel terasi, sambel goreng, sambel
jelantah, sambel penjit alias sambel mangga muda, sambel tomat, dan
entah sambel apa lagi. Bila belum ada sambel di antara hidangan di atas
meja makan, maka sajian itu dinyatakan belumlah komplit,” celoteh
budayawan Umar Khayam dalam kolomnya Kapok Lombok yang dimuat di harian
Kedaulatan Rakyat, 10 Oktober 1996.
Tim
ahli kuliner dari Universitas Gajah Mada yang dimotori oleh Ibu
Murdijati Gardjito, pernah melakukan riset terhadap sambal di Indonesia
dan berhasil mengidentifikasi terhadap temuan sebanyak 322 macam sambal.
Kemudian Bandung Fe Institute dan Research Center for Complexity dari
Surya University pada tahun 2016 juga mencatat ada sekitar 100 versi
sambal di Indonesia. Lalu tahun 2011, penulis dan pakar kuliner
Suryatini N. Ganie meluncurkan buku 100 Resep Variasi Sambal. Apa yang
mereka lakukan adalah cara terbaik menjaga kelestarian sambal untuk
generasi mendatang. Jika tidak didokumentasikan dalam bentuk buku baik
fisik maupun digital, resep-resep sambal kuno yang sudah jarang
diceritakan dan dibuat nantinya akan tinggal nama.
Melihat
sejarah peradabannya yang panjang, tak heran jika kebanyakan orang
Indonesia menganggap sambal sebagai pelengkap wajib untuk makanan yang
nikmat dan nendang. Tanpa sambal, aktivitas makan terasa hambar. Coba
saja rasakan makan soto madura tanpa sambal, rawon tanpa sambal, coto
makassar tanpa sambal, gudeg tanpa sambal, ayam goreng taliwang tanpa
sambal, bakso tanpa sambal! Terasa ada yang kurang bukan?!
Sambal
seolah-olah sudah menjadi kebutuhan pokok seperti halnya beras bagi
rakyat Indonesia. Di rumah, warung, atau restoran, sambal dibuat setiap
hari. Cabai menjadi bumbu yang harus selalu ada di dapur. Saat harga
cabai naik, masyarakat menjadi gelisah dan langsung berpengaruh pada
inflasi. Cabai menjadi salah satu komoditas penggerak ekonomi nasional
di sektor pertanian. Naik turunnya harga cabai fluktuatif dengan selisih
harga yang tinggi. Bisa saja hari ini cabai berharga Rp 5.000, lalu
minggu depan sudah menjadi Rp 100.000. Dulu pernah ada gerakan untuk
tidak makan sambal saat harga cabai naik. Tapi, gerakan itu tidak
popular dan menghilang dengan sendirinya. Sepertinya masyarakat
Indonesia belum bisa move on dari sambal!
Tanpa
kita sadari pula, sebenarnya cabai dan sambal telah menjadi benang
merah pemersatu kuliner Nusantara. Saat ini hampir tidak ada kuliner
Indonesia yang tidak menggunakan sambal sebagai pelengkapnya, kecuali
mungkin untuk sejumlah wilayah di pedalaman Kalimantan, NTT, dan Papua
yang awalnya memang tidak mengenal tradisi sambal. Masing-masing sambal
hadir dengan tambahan bahan lokal, namun namanya tetap sambal dan
rasanya tetap pedas, khas sambal Nusantara! Ya, bisa dibilang kalau
bicara tentang kuliner Indonesia, maka tidak akan pernah bisa lepas dari
sambal. Lebih ekstrim lagi kalau bicara sambal, ya harus bicara tentang
Indonesia. Sambal adalah Indonesia. Salam sambal Nusantara!
Sambal terasi yang menggoda |
0 komentar