Sambal Adalah Indonesia

by - Maret 17, 2019

sambal nusantara
Sambal, pelengkap wajib masakan Indonesia.
Jika kita buka lembar demi lembar sejarah peradaban Nusantara, terkuak bahwa sambal atau sambel merupakan tradisi kuliner yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam teks Prasasti Rukam yang ditulis pada awal abad ke-9, terdapat kata “sambel” yang merupakan salah satu hidangan yang dikonsumsi oleh masyarakat pada masa itu. Sementara dalam Prasasti Pangumulan yang ditulis di abad yang sama, menjelaskan bahwa sambel petis (tetis) adalah salah satu hidangan yang digunakan untuk sesajen dalam upacara adat. Kedua prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Teks tersebut menguatkan terminologi sambal yang bermula dari Jawa. 

Asal-usul Sambal dan Cabai
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sambal diartikan sebagai makanan penyedap yang dibuat dari cabai, garam, dan sebagainya yang ditumbuk, dihaluskan, dan sebagainya, biasanya dimakan bersama nasi. Definisi tersebut adalah realitas sekarang bahwa sambal tidak bisa lepas dari cabai. Namun, tahukah kalian kalau sebenarnya cabai ini bukanlah tanaman asli Indonesia? Cabai diprediksi masuk dan menyebar ke Indonesia pada awal abad ke-16. Dalam buku Tropical Herbs and Spices of Indonesia yang ditulis oleh Wendy Hutton, diungkapkan bahwa cabai dibawa oleh orang-orang Portugis dari benua Amerika dalam penjelajahan mereka untuk mencari rempah-rempah. Di Amerika Selatan dan Tengah, cabai dibudidayakan oleh suku Maya, Inca, dan Aztec sebagai bumbu masakan dan obat sejak 5.000 SM. 

Walaupun tidak ada bukti sejarah yang jelas, tetapi cabai diperkirakan masuk pertama kali ke Nusantara melalui Maluku. Tanaman ini  dibawa oleh pelaut Portugis, Ferdinand Magellan, yang melakukan pelayaran atas prakarsa Raja Charles I dari Spanyol. Pada tahun 1519, Magellan berlabuh di Maluku dari arah barat membawa lima kapal yang melintasi Samudera Atlantik menuju Lautan Teduh (Samudera Pasifik) dengan melewati sebuah selat di Chili yang sekarang diberi nama Selat Magellan. Pedagang dari India juga turut berperan dalam penyebaran tanaman cabai ke Indonesia. Mereka membawa cabai melalui Pulau Sumatera.
cabe jamu
Cabya, cabe kuno asli Indonesia.
Seorang arkeolog Indonesia, Titi Surti Nastiti, mengungkapkan bahwa sebenarnya cabai sudah dikenal masyarakat Mataram Kuno di abad ke-10. Dalam teks Kakawin Ramayana, cabai disebut sebagai salah satu komoditi perdagangan dan contoh jenis makanan pangan. Tapi, ternyata cabai yang tertulis dalam teks Ramayana itu, adalah cabya. Riset arkeologis yang dilakukan oleh Timbul Haryono dalam Inventarisasi Makanan dan Minuman dalam Sumber-Sumber Arkeologi Tertulis (1997), menjelaskan bahwa kata ”cabya” dalam teks Ramayana, merujuk kepada Piper retrofractum vahl, jenis tanaman dari genus lada dan sirih-sirihan yang juga mempunyai rasa pedas. Tanaman itu banyak tumbuh liar di hutan-hutan Pulau Jawa. Cabya telah digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai bahan pemedas dalam sambal sebelum kedatangan cabai. Nama “cabai” diduga berasal dari kata cabya karena pelafalan yang hampir sama. Masyarakat Nusantara sepertinya masih berusaha menjaga jejak masa lalunya dengan menyebut pemedas baru dari negeri seberang itu sebagai cabai. Dalam bahasa Jawa, daun cabai disebut sebagai daun sabrang yang artinya daun dari negeri seberang. Setelah kehadiran cabai, pamor cabya perlahan meredup. Sekarang namanya dikenal sebagai cabai jawa atau cabai puyang yang digunakan sebagai ramuan herbal atau jamu. Rasa pedas pada minuman beras kencur, berasal dari cabya.

Baca Juga: Cabe Jamu, Sang Legenda Cabai

Cabai yang dibawa oleh orang Portugis dan India mempunyai rasa yang lebih pedas, lebih segar, harganya tidak mahal, dan dapat tumbuh subur dengan mudah. Sehingga, tidak lama setelah dikenalkan, cabai langsung menjadi viral dan banyak disukai oleh masyarakat Nusantara. Akhirnya, kehadiran cabai menggantikan rasa pedas dalam sambal dari beberapa bahan lokal yang sebelumnya telah ada, yaitu cabya untuk kawasan Jawa serta merica, jahe, dan kapulaga di kawasan lainnya. Rempah-rempah itu telah tumbuh dan digunakan ratusan tahun sebelumnya bersamaaan dengan pengaruh dari kedatangan pedagang-pedagang India dan Tiongkok.

Prasasti dan naskah kuno mengungkapkan bahwa tradisi sambal telah ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan cabai. Para ahli kuliner menjelaskan memang kebanyakan hidangan Nusantara bersifat dingin, sehingga memerlukan pelengkap yang menghangatkan. Dan itu bisa didapat dari rasa pedas pada sambal. Iklim tropis telah membentuk kebiasaan masyarakat Indonesia untuk membiarkan hidangan sampai dingin, kemudian menyantapnya dengan sambal dan nasi hangat. Coba perhatikan warung tegal (warteg) atau warung padang, lauk yang mereka sajikan kebanyakan dalam keadaan dingin. Kuliner seperti nasi liwet, nasi gudeg, sayur lodeh, sayur meniran, nasi rames, sayur bobor, nasi pecel, nasi kebuli, opor ayam, rendang, itiak lado mudo, gulai tambusu, lawar, gangan, asam padeh, woku balanga, atau pallumara, lebih nikmat disantap saat dingin. Kemudian sambal ditambahkan untuk menciptakan kembali sensasi rasa panas. Bahkan, untuk hidangan yang bersifat panas pun, seperti soto, kalau tanpa sambal rasanya juga kurang nendang.

Sambal Masa Kolonialisme
Pada era penjajah kolonial Belanda, sambal pernah berjaya di lidah orang-orang Belanda. Baboe atau sebutan untuk pekerja domestik atau pekerja rumah tangga (PRT) yang pandai membuat sambal, kala itu mempunyai bayaran yang paling mahal. Salah satu ahli kuliner paling berpengaruh pada masa itu, Catenius Van der Meijden, seorang nyonya meneer Belanda yang tinggal di Jawa, sangat ahli dalam memasak sambal. Berbagai macam teknik membuat sambal dikuasai dengan baik termasuk sambal yang dibuat dengan cobek dan ulekan. Perempuan ini juga yang pertama kali menerbitkan resep-resep kuliner Nusantara dalam sebuah buku berjudul Groot nieuw volledig Oost-Indisch Kookboek di Bandung, Semarang, dan Surabaya tahun 1942. Resep-resep dalam buku tersebut merupakan hasil wawancara dengan para pekerja domestiknya. Melalui resep-resep sambal dalam buku tersebut, dia berhasil membuat sambal menjadi semakin popular di Indonesia sampai ke Belanda. Sambal juga selalu hadir dalam piring-piring kecil pada jamuan makan istimewa, yaitu rijstaffel. Rijstaffel adalah gaya makan raja-raja zaman dulu yang menghidangkan ragam kuliner Nusantara dalam satu meja. Jamuan itu sengaja diciptakan oleh orang-orang Belanda untuk menjamu tamu-tamu sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya dan kuliner dari negeri jajahan mereka.

Banyak orang Belanda penasaran dengan menu sambal. Mereka menganggap sambal adalah makanan yang “eksotis.”

“Rasa pedasnya bisa membuat perut berputar (mulas),” begitu kata Van Overbeke dalam salah satu syairnya.

Walaupun ada banyak peringatan tentang bahaya makan sambal bagi perut, namun banyak wisatawan Belanda pada masa kolonial yang berkunjung ke Indonesia, tetap penasaran dan berhasrat mencobanya. Dan hasilnya, banyak dari mereka yang mengeluhkan berbagai efek: sakit perut, bibir gemetar, atau bahkan leher terasa tercekik karena kepanasan rasa pedasnya sambal. Koresponden Haagse Post, Louis Couperus, mengingatkan ganasnya sambal dalam hidangan rijsttafel. “Bermacam-macam, seringkali dengan bumbu sambal yang banyak kita ambil sedikit saja, awas dengan sambal ulek yang terbuat hanya dari lada Spanyol,” tulisnya dalam buku kumpulan tulisannya berjudul Oostwaarts (1992).

Variasi Sambal dan Tradisi Sambal
Sambal memulai masa kebangkitannya pada tahun 1920-an di mana banyak kreasi sambal baru semakin bermunculan dengan nama-nama unik, seperti sambal brandal, sambal serdadu, sambal bajak, dan sambal ulek. Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran cabai telah mendorong kreativitas terhadap eksistensi sambal di Indonesia. Saat ini hampir tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak mengenal sambal. Entah sebutan apa yang cocok kalau melihat perannya yang begitu dominan dalam kuliner Indonesia. Kondimen, pelengkap, side dish, penyedap, bahkan lauk, semua bisa dilakukan dengan sambal. Mungkin satu hal yang tidak bisa dilakukan, yakni menjadikan sambal sebagai hidangan utama.
sambal bajak
Sambal Bajak, kreasi seorang Nyonya Meneer Belanda.
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dengan budaya yang bermacam ragam, membuat negeri ini memiliki kekayaan kuliner yang berlimpah. Uniknya lagi, hampir semua kuliner Indonesia selalu mempunyai sambal sebagai pelengkapnya.

Baca Juga: Sambal Kriuk, Variasi Sambal Milenial

“Sambel adalah kultur Indonesia. Di bagian mana di kepulauan kita ini yang tidak kenal sambel? Semuanya kenal. Sambel terasi, sambel goreng, sambel jelantah, sambel penjit alias sambel mangga muda, sambel tomat, dan entah sambel apa lagi. Bila belum ada sambel di antara hidangan di atas meja makan, maka sajian itu dinyatakan belumlah komplit,” celoteh budayawan Umar Khayam dalam kolomnya Kapok Lombok yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 10 Oktober 1996.

Tim ahli kuliner dari Universitas Gajah Mada yang dimotori oleh Ibu Murdijati Gardjito, pernah melakukan riset terhadap sambal di Indonesia dan berhasil mengidentifikasi terhadap temuan sebanyak 322 macam sambal. Kemudian Bandung Fe Institute dan Research Center for Complexity dari Surya University pada tahun 2016 juga mencatat ada sekitar 100 versi sambal di Indonesia. Lalu tahun 2011, penulis dan pakar kuliner Suryatini N. Ganie meluncurkan buku 100 Resep Variasi Sambal. Apa yang mereka lakukan adalah cara terbaik menjaga kelestarian sambal untuk generasi mendatang. Jika tidak didokumentasikan dalam bentuk buku baik fisik maupun digital, resep-resep sambal kuno yang sudah jarang diceritakan dan dibuat nantinya akan tinggal nama. 

Melihat sejarah peradabannya yang panjang, tak heran jika kebanyakan orang Indonesia menganggap sambal sebagai pelengkap wajib untuk makanan yang nikmat dan nendang. Tanpa sambal, aktivitas makan terasa hambar. Coba saja rasakan makan soto madura tanpa sambal, rawon tanpa sambal, coto makassar tanpa sambal, gudeg tanpa sambal, ayam goreng taliwang tanpa sambal, bakso tanpa sambal! Terasa ada yang kurang bukan?! 

Sambal seolah-olah sudah menjadi kebutuhan pokok seperti halnya beras bagi rakyat Indonesia. Di rumah, warung, atau restoran, sambal dibuat setiap hari. Cabai menjadi bumbu yang harus selalu ada di dapur. Saat harga cabai naik, masyarakat menjadi gelisah dan langsung berpengaruh pada inflasi. Cabai menjadi salah satu komoditas penggerak ekonomi nasional di sektor pertanian. Naik turunnya harga cabai fluktuatif dengan selisih harga yang tinggi. Bisa saja hari ini cabai berharga Rp 5.000, lalu minggu depan sudah menjadi Rp 100.000. Dulu pernah ada gerakan untuk tidak makan sambal saat harga cabai naik. Tapi, gerakan itu tidak popular dan menghilang dengan sendirinya. Sepertinya masyarakat Indonesia belum bisa move on dari sambal!
sambal terasi
Sambal terasi yang menggoda
Tanpa kita sadari pula, sebenarnya cabai dan sambal telah menjadi benang merah pemersatu kuliner Nusantara. Saat ini hampir tidak ada kuliner Indonesia yang tidak menggunakan sambal sebagai pelengkapnya, kecuali mungkin untuk sejumlah wilayah di pedalaman Kalimantan, NTT, dan Papua yang awalnya memang tidak mengenal tradisi sambal. Masing-masing sambal hadir dengan tambahan bahan lokal, namun namanya tetap sambal dan rasanya tetap pedas, khas sambal Nusantara! Ya, bisa dibilang kalau bicara tentang kuliner Indonesia, maka tidak akan pernah bisa lepas dari sambal. Lebih ekstrim lagi kalau bicara sambal, ya harus bicara tentang Indonesia. Sambal adalah Indonesia. Salam sambal Nusantara!

You May Also Like

0 komentar